Sabtu, 11 Januari 2020

Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Persetujuan Roem-Royen

Kabid Dikdas
Pada saat para pemimpin ditangkap, Panglima TNI Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya. Beliau dan pasukannya segera meninggalkan kota dan mengatur siasat. Bagaimana peranan TNI setelah agresi militer Belanda II? Apakah mereka masih melakukan perlawanan terhadap Belanda?

Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal 28 Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX lewat radio menangkap berita luar negeri tentang rencana DK PBB yang akan mengadakan sidang lagi pada bulan Maret 1949, untuk membahas perkembangan di Indonesia. Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari. Pada tanggal 1 Maret 1949 dini hari sekitar pukul 06.00 sewaktu sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru. Letkol Soeharto langsung memegang komando menyerang ke pusat kota. Serangan umum ini ternyata sukses. Selama enam jam (dari jam 06.00 - jam 12.00 siang) Yogyakarta dapat diduduki oleh TNI. Setelah Belanda mendatangkan bala bantuan dari Gombong dan Magelang, dapat memukul mundur para pejuang kita.

Keberhasilan serangan umum itu, kemudian disebarluaskan melalui RRI gerilya yang ada di Gunung Kidul. Berita ini dapat ditangkap oleh RRI di Sumatra, yaitu Radio Rimba Raya di Aceh kemudian diteruskan ke luar negeri. Walaupun hanya sekitar enam jam pasukan Indonesia berhasil menduduki kota Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Terutama ke dunia internasional untuk membuktikan bahwa RI masih ada, tidak seperti yang diberikan oleh Belanda. Selain mengobarkan semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih mempunyai kekuatan. Pada waktu itu di Yogyakarta ada beberapa wartawan asing yang peranannya sangat besar dalam menginformasikan keadaan Indonesia kepada dunia.

Persetujuan Roem-Royen
Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet. Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia.

Ketika terlihat titik terang bahwa RI dan Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan selanjutnya. Sebaliknya pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh pihak RI.

Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen.

Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut:
  1. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
  2. Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.

Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.

Bagaimana setelah disetujuinya Perjanjian Roem Royen? Bagaimana proses kembalinya RI dan nasib pasukan gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman? Sebagai pelaksanaan dari kesepakatan itu, maka pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.

Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta. Kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan perang di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sultan Hamangkubuwono IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, karena Keraton Yogyakarta bebas dari intervensi Belanda, maka mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kembalinya Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang terdiri atas Sukarno, Hatta, dan rombongan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menyelesaikan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.

Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya.
Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman ditunggu kedatangannya di Yogyakarta. Sebelumnya berangkat menuju Yogyakarta, Sudirman berpamitan dengan masyarakat Sobo dan keluarga Pak Karso yang rumahnya digunakan Sudirman. Ia berpamitan dengan bahasa Jawa, kurang lebih demikian: “…gandheng kulo badhe wangsul dateng Ngayojo malih, namung weling kulo dateng Pak Karso (lan keluargo ing mriki), mugo sampun ngantos nggadhahi alangan satunggal punopo (berkenaan kami akan kembali ke Yogya, hanya pesan kami semoga Pak Karso (dan keluarga di sini) tidak mendapatkan halangan sesuatu apa” (Sardiman, 2008). Sudirman kemudian berangkat dan selanjutnya memasuki Desa Wonosari.

Sesampainya di kota Yogyakarta, Rombongan Jenderal Sudirman dijemput oleh Sultan Hamengkubuwono IX bersama pasukan di bawah pimpinan Letkol Soeharto sebagai Panglima Perang Yogyakarta, dengan disertai dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah Wonosari. Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu beliau sedang menderita sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan dan pasukan beliau dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih dan sakit beliau mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian gerilya.
Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara adalah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dan para pimpinan RI yang baru saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta. Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara menyampaikan kepada Presiden Sukarno tentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatra Barat. Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.